ilustrasi, pic : vuing.com |
istilah pluralisme seperti istilah yang manis dan sejuk untuk umat manusia, namun ternyata sebaliknya. Tidak hanya dalam Islam, tetapi dalam agama lain ternyata pluralisme ini membawa dampak yang tidak baik bagi kualitas bergama, bagaimana hal itu terjadi? berikut ini ulasan yang dikuti dari insistnet.com
” Our goal is a Christian nation. We have a Biblical duty, we are called by God, to conquer this country. We don’t want equal time. We don’t want pluralism.” Randall Terry, Founder of Operation Rescue.
ITULAH sekelumit cetusan hati seorang penganut Kristen. Randall mungkin terlalu keras dan dicap intoleran. Tapi apa salahnya orang berdakwah jika itu perintah. Mestinya, dalam masyarakat yang plural, pernyataan Randall adalah jamak.
Mestinya Randal pernah baca tulisan Akbar S Ahmed tahun 90-an “Postmodernisme dipicu oleh semangat pluralism”. Tapi kini Randal merasa pluralisme bagai orde zaman postmo. Sebab ia memiliki rencana, bala tentara dan dana. Dipromosikan pada area sacred yakni agama, dan profane yakni masyarakat luas. Ini merupakan kelanjutan proyek Barat modern yakni sekularisasi. Pengembangan paham pluralism pada masyarakat modern, Peter Berger (1967) membantu proses sekularisasi. Padahal pada kesempatan lain dia pernah menyatakan sekularisasi umat Islam telah gagal, kini sebagai gantinya adalah pluralism.
Tidak hanya merupakan program ganda, pluralisme pun merupakan kata bersayap. Terkadang bermakna toleransi dan di saat lain berarti relativisme. Dalam “Religious ‘Pluralism’ or Tolerance?” Robert E. Regier & Timothy J. Dailey, juga tegas bahwa banyak orang hari ini yang dibingungkan oleh istilah toleransi keagamaan tradisional Barat dengan pluralisme agama. Yang kedua berasumsi semua agama adalah sama-sama valid. Ini menurutnya menghasilkan relativisme moral dan ketidakberaturan etika (ethical chaos). Tokoh Katholik yang lain Rick Rood menulis “Pluralisme agama adalah pandangan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya sebagai jalan menuju Tuhan… Perbedaan antara agama hanyalah permukaan; semua menuju pada tujuan yang sama. Inilah sayap pluralism, yang kiri toleransi dan yang kanan adalah relativisme.
Pandangan relativis juga ada dalam pikiran Diana L Eck, pimpinan proyek pluralisme Amerika. Agama-agama dan pandangan hidup sekuler adalah sama benar dan validnya. Benar jika dilihat dari dalam kulturnya sendiri. Maka dalam strategi Diana L. Eck., dalam “The challenge of pluralism,” pluralitas digandengkan dengan pluralism. Sebab pluralitas saja tidak cukup, seorang pluralis harus terlibat intens. Artinya mengakui pluralitas agama tidak cukup, mestinya mengakui realitas kebenaran agama-agama. Itulah target program pluralisme.
Pengertian Diana didukung Ronald Thiemann. Dalam buku Toward a Confucian Pluralism: Globalization in Dialogue ia jelaskan bahwa pluralism itu adalah keyakinan bahwa kebenaran keyakinan kita tidak terbukti dengan sendirinya (self evident). Ini bukan berarti tidak punya bukti, tapi bukti kita tidak bisa meyakinkan orang yang tidak setuju. Seorang pluralis juga harus yakin bahwa orang yang tidak setuju dengan kita juga rasional. Artinya seorang pluralis harus mengakui rasionalitas atau validitas agama lain.
Pandangan Ronald jelas sekali relativistis, tapi Ronald berkilah, itu bukan relativis. Sebab pluralis tidak memaksa orang lain percaya, katanya. Kita bisa saja punya bukti kebenaran yang kuat, lanjutnya, tapi itu tidak akan memaksa orang lain percaya keimanan kita.
Tapi tidak semua sepakat dengan pandangan yang pro pluralisme. Kalangan gereja telah lama gerah dengan paham pluralism. Maka tidak heran jika Dr. Dawe Robert L. Dabney dalamChristian Century May 12, 1982 menulis bahwa gaung pluralisme telah memasuki ruang-ruang gereja. “Namun pemahaman kita cenderung sosiologi daripada teologis,” tulisnya. Menurut profesor teologi sistematis di Union Theological Seminary, Richmond, Virginia itu pluralism mempunyai dua sisi negatif-positif. Di satu sisi gereja harus terima berbagai pandangan, baik konservatif ataupun liberal, yang alim atau yang brengsek, feminis atau tradisionalis, aliran kiri atau kanan. Di sisi lain orang di luar gereja merasa senang sebab dengan pluralisme tidak ada lagi upaya menyingkirkan orang yang tak sefaham.
Dalam sebuah interview tahun 1998 teolog Anglican John Stott tegas menyatakan pluralismadalah mengakui kebenaran setiap agama, dan menolak untuk memilih di antara semua agama atau juga menolak penyebaran agama Kristen (evangelisme). Lebih telak lagi pernyataan rekannya, Gregory Koukl. Dalam sebuah interview radio tentang pluralism ia mengatakan, “saya rasa konsep pluralisme agama masa kini adalah bodoh (stupid)… Konsep bodohnya adalah ide bahwa semua agama pada dasarnya sama-sama benar.” Dalam bahasa informal America ia katakan, That is just flat out stupid.
John Carroll, uskup pertama Baltimore menyatakan, dengan pluralisme gereja Katholik di Amerika dapat dua keuntungan, dari jusifikasi politik dan teologis. Tapi pada saat yang sama juga mendapat tantangan dari situasi sosial yang pluralistis. Di satu sisi dituntut toleransi sipil atau sosial, di sisi lain intoleransi teologis. Jika gagal dalam hal ini taruhannya Katholik menjadi tidak laku di pasaran. Di sisi lain Caroll khawatir akan ada persaingan antara kelompok agama dan ini tentu membahayakan kehidupan sipil.
Para peneliti sosiologi agama juga membuktikan kekhawatiran para petinggi gereja. Para peneliti menemukan bahwa pluralism agama melemahkan keterlibatan masyarakat dalam agama. Bagi Finke dan Stark (1988) dengan pluralisme monopoli keagamaan menjadi “malas” alias tidak semangat dan diganti dengan meningkatnya kompetisi antaragama agar sesuai dengan kebutuhan. Ketika negara atau lembaga publik tidak lagi mengobarkan kebaikan suatu agama, maka pemeluk agama-agama itu akan kehilangan kualitas atau intensitas keimanan atau kepercayaan pada agamanya. Di situ keterlibatan masyarakat pada agama menjadi turun. Semakin pluralis seseorang, semakin rendah semangatnya pergi ke gereja.
Sensus di Kanada oleh Olson and Hadaway (1998) membuktitkan bahwa pluralisme menggerogoti semangat masyarakat dalam kegiatan keagamaan di Amerika Utara. Pendekatan kognitif Berger malah lebih jelas bahwa dengan pluralisme agama individu menjadi sulit mengimani agama tertentu. Stark dan Bainbridge (1987) juga mencatat, ketika seseorang berbeda pendapat tentang (ajaran) suatu agama, maka salah satunya akan berkurang keimanannya. Kesimpulan Joseph M. Mcshane, S.J., Dosen religious studies di LeMoyne College in Syracuse, New York menarik dicermati. Dalam 200 tahun gereja-gereja Amerika menikmati “karunia” pluralisme, tapi 40 tahun terakhir, gereja akhirnya harus menanggung efekpluralism yang merusak. Kini beda antara penganut Katholik dan orang Amerika biasa telah hilang.
Di negeri ini “dagangan” pluralisme laris manis di pasar cendekiawan Muslim. Disertasi, workshop, LSM, seminar, jurnal mendukung penuh paham pluralisme, teologis atau sosiologis. Bahkan di negeri para pluralis membuka surga bagi semua agama. Di suatu saat nanti mungkin menjelang ajal seorang kiai boleh dibaptis, dan setelah dimakamkan seorang pendeta boleh ditalqin, agar di alam sana bisa memilih surga masing-masing yang “plural” itu. Wallahu a’lam (http://insistnet.com/pluralisme/)