Menarik, itu lah kata yang terbesit
dalam pikiran ketika admin sangpencerah.com membagikan sebuah link dari artikel
webnya yang berjudul “Nasionalisme, Khilafah dan Kebangkitan Islam” dalam grup
Muhammadiyah di facebook. Begitu susahnya untuk berkomentar dalam grup tersebut bukan
karena arus diskusi yang sudah kesana-kesini
dan bahkan adminnya emosional, tetapi karena sulit menemukan benang merah dalam perbandingan antara
nasionalisme dan khilafah dalam tulisan kiriman Robby
Karman PC IMM Bogor tersebut.
Sebab kalau ingin membandingkan
nasiolisme -yang merupakan sebuah ikatan pemersatu- pantasnya disandingkan dengan
ukhuwah islamiyah, sedangkan khilafah yang merupakan sistem pemerintahan lebih pas dibandingkan dengan demokrasi, kerajaan atau sistem pemerintahan lain. Untuk itu,
tulisan yang terinspirasi dari tulisan tersebut ini akan mengulas Ukhuwah
Islamiyah. Tulisan ini bukan merupakan tanggapan dari tulisan tersebut sebab membandingkan nasionalisme
dengan Khilafah seperti sudah diutarakan tadi bagi penulis sulit untuk ditanggapi, sebab bagai
menggandeng dua gerbong yang berbeda rel.
Ukhuwah Islamiyah, dan Loyalitas
dalam Islam
Di antara rahmat Allah Swt. Dan keagungan
kasih-sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya adalah, Dia menjadikan risalah Muhammad
sebagai penutup semua risalah samawi, dan
menjadikan sempurna dan bersih. Tidak ada yang menyimpang dari risalah tersebut
kecuali orang yang celaka. Begitu juga dalam mengatur kasih sayang dan permusuhan,
hubungan antarmanusia.
Dasar risalah ini adalah kalimat
tauhid: laa ilaaha illallah. Jalannya adalah dengan hanya meneladani Rasulullah
secara lahir amupun batin, dan menutup mata dari keinginan berpaling kepada
selain Allah dan Rasul-Nya.
Sayangnya kalimat tauhid ini,
dengan segala konsep dan konsekuensinya telah luntur dari perasaan manusia,
kecuali mereka yang dirahmati Allah Swt. Salah satu konsekuensi dari kalimat
tauhid tersebut adalah ‘al-wala’ wa al-bara’. Sebuah gambaran konkrit bagi
penerapan dari akidah ini, konsep loyalitas dan permusuhan dalam Islam.
Sebenarnya sederhana bagaimana
seorang muslim menjalin hubungan dengan sesama manusia. Cukup meneladani
Rasulullah, konkritnya mempraktikkan al-wala’ wa al-bara ini, tiada perlu
mengadopsi paham pemikiran mengenai hubungan manusia selain dari apa yang Islam
tentukan, kecuali seseorang itu tidak percaya bahwa ajaran agama Islam ini
sudah sempurna.
Penulis : Dhesy Anang, Jurnalis, Yogyakarta